Rancangan Undang-Undang tentang Farmasi merupakan salah satu RUU yang diusulkan DPR dengan penugasan pembahasan kepada Komisi IX yang membidangi Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Latar Belakang dan Tujuan RUU a quo yakni:[1]

  1. Apoteker sebagai tenaga profesi kesehatan mempunyai peran strategis dalam pelayanan kesehatan yaitu menjamin ketersediaan obat yang bermutu, menjamin efektivitas pengelolaannya, serta menjamin keamanan dan kemanjuran obat melalui pelayanan kefarmasian yang berfokus kepada pasien.
  2. Jumlah apoteker di Indonesia saat ini mencapai sekitar 45.000 dengan tingkat pertumbuhan 10% per tahun.
  3.  Sampai saat ini praktisi kefarmasian di Indonesia belum berjalan optimal. Peran apoteker pada umumnya baru sebatas mengelola obat, akibatnya keberadaan dan kemanfaatan profesi apoteker belum dirasakan oleh masyarakat.
  4. Konsep, strategi dan mekanisme yang mengatur peran pemerintah, organisasi profesi, masyarakat dan stakeholders lainnya dalam pengembangan pendidikan apoteker belum dirumuskan secara jelas dan restruktur, khususnya dalam penyediaan fasilitas praktisi kerja profesi.
  5. Belum ada acuan yang sama bagi penyelenggara pendidikan apoteker di Indonesia.
  6. Masih rendahnya tingkat kesadaran tenaga kefarmasian akan peran, tugas, dan kewenangannya seperti yang terlihat dari rendahnya tingkat kehadiran apoteker di apotek dan banyaknya tugas dan kewenangan apoteker yang didelegasikan kepada tenaga teknis kefarmasian.
  7. Masih rendahnya pengakuan peran apoteker dalam Sistem Kesehatan Nasional yang berakibat pada tidak terlibatnya peran apoteker dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan secara nasional; dan
  8. Belum ada payung hukum yang mengatur tentang praktik kefarmasian.


Menurut sejarahnya, RUU tentang Kefarmasian pertama kali diusulkan oleh Komisi IX untuk masuk dalam Prolegnas 2015-2019. Namun selama 5 tahun periode keanggotaan DPR, RUU ini mangkrak dan tidak kunjung dilakukan pembahasan. RUU kembali masuk dalam daftar Prolegnas 2020-2024 dan menjadi Prioritas Prolegnas Tahun 2023, meskipun saat ini statusnya masih terdaftar dan belum masuk tahap pembicaraan. Belum adanya payung hukum dalam urusan kefarmasian, membuat profesi apoteker mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU a quo.[2] Kendati demikian, berdasarkan hasil tinjauan dalam situs DPR, tidak ada pergerakan pembahasan terhadap RUU Kefarmasian.

Prediksi Kelolosan

 

Peta Kebijakan mencoba memprediksi kelolosan RUU tentang Kefarmasian dengan mempertimbangkan variable diantaranya Pengusul, Penugasan, Sponsor, Tahun Update, Periode, dan Status Proses terakhir. Beberapa informasi tersebut sebagai berikut:

·     Pengusul: DPR

·     Penugasan: Komisi IX

·     Tahun Prioritas: 2023

·     Sponsor: DPR

·     Tahun Update: 2023

·     Status Proses: Terdaftar


Dengan menggunakan metode random forest, menunjukkan prediksi kololosan RUU tersebut sebesar 52.26%. Dari beberapa variable yang digunakan, status proses dan tahun prioritas merupakan variable yang paling dominan. Prediksi tersebut dihasilkan hanya terbatas pada informasi yang tersedia dalam situs DPR RI, sehingga Peta Kebijakan tidak turut menyertakan faktor lain seperti political will dari pembentuk undang-undang dan dinamika politik yang terjadi atas pembentukan RUU tersebut



[1] DPR RI, Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan, diakses dari https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/129

[2] Change.org, Farmasi Butuh Payung Hukum, Segerakan RUU Kefarmasian, diakses dari https://www.change.org/p/segerakan-rancangan-undang-undang-kefarmasian