Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) resmi diluncurkan oleh Presiden pada 26 September lalu. Ini menjadi preseden baik dalam memitigasi dampak perubahan iklim dalam beberapa masa mendatang.

Melalui IDXCarbon, pelaku usaha berbentuk Perseroan yang memiliki kewajiban dan/atau memiliki komitmen untuk secara sukarela menurunkan emisi Gas Rumah Kaca, dapat menjadi Pengguna Jasa IDXCarbon dan membeli Unit Karbon yang tersedia.

Peluncuran tersebut juga akan memberikan sinyal baik untuk proses pembentukan RUU EBT yang sudah bergulir sejak XX. Sebagai upaya terus menerus mengantisipasi krisis perubahan iklim, berharap keberadaan Bursa Karbon bisa dilengkapi dengan mempercepat pengesahan RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT) menjadi UU. 

Komisi VII DPR RI terus mempercepat pembahasan RUU EBT sebagai dasar hukum yang kuat untuk memperbesar bauran energi terbarukan dan akselerasi transisi energi dari fosil menjadi energi hijau yang bersih. 

Komisi tersebut menilai RUU EBT menjadi kontrol atas penggunaan energi fosil seperti batu bara. Hal ini mengingat sektor energi Indonesia bakal mengalami krisis besar pada 10—12 tahun ke depan selama masih bertahan menggunakan energi fosil.

Kondisi yang membuat Indonesia membutuhkan RUU EBT adalah produksi minyak nasional di Tanah Air setiap hari hingga setiap tahunnya makin menurun. Dari 2002, produksi minyak Indonesia masih di atas satu juta barel per hari. Namun, seiring dengan waktu produksi terus di bawah 700.000 barel per hari.

Sementara itu, anggota DPR RI Diah Nurwitasari mengatakan bahwa RUU EBT merupakan usul inisiatif DPR yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023. Diah menjelaskan bahwa Pemerintah telah mengirimkan 574 daftar inventarisasi masalah (DIM), dan baru dibahas sekitar 170 DIM.